google918a0c52108bf1a3.html Lanang Pening: PERBUDAKAN ERA MODERN MASIH MARAK

25 Des 2010

PERBUDAKAN ERA MODERN MASIH MARAK

Ibarat fenomena gunung es, banyak kasus penganiayaan di luar batas kemanusiaan menimpa TKW (tenaga kerja wanita) di Arab Saudi. Derita Sumiati binti Salam Mustapa (23), asal Dompu, Bima, NTB adalah puncaknya.

Kasus itu adalah puncak akumulasi atau cerminan buram tentang buruknya perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI), masalah serius dalam sistem penyiapan tenaga kerja yang terampil, bobrok perusahaan jasa tenaga kerja, serta kelemahan pemerintah dalam menjalin hubungan dengan negara tujuan TKI/TKW.

Sepertinya, dalam berbagai kasus, para TKW/TKI Indonesia diperlakukan tidak lebih dari budak, tidak mendapat gaji, dianiaya dan diperkosa seenaknya tanpa perlindungan hukum.

Pada beberapa kasus, terkesan Pemerintah Indonesia tidak memiliki kekuatan untuk "menegur" pemerintah di negara tempat kasus TKI terjadi, ini mencerminkan bahwa lemahnya diplomasi Indonesia di kancah dunia internasional.

Kenyataannya, kasus penganiayaan berat seperti menimpa Sumiati tidak saja melanggar UU di Indonesia, juga melanggar hukum di negara manapun serta melanggar konvensi Hak Azazi Manusia (HAM) PBB.

Dalam Piagam PBB, terdapat mekanisme pemantauan yang bersifat lebih umum,yaitu mekanisme yang dibentuk untuk bekerja di dalam bidang yang luas dari hukum internasional publik dan tidak hanya hukum hak asasi manusia internasional.

Pasal 7 ayat (2) dari Piagam PBB membolehkan pembentukan suborgan. Dalam bidang hak asasi manusia, adalah khususnya Sub-Komisi tentang Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia (1947/1999).

Kemudian ada Komisi tentang Status Perempuan (1946) dan lebih baru Komisi tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana (1992) yang ada sangkut pautnya dengan bekas Komisi Hak Asasi Manusia (yang dibentuk pada 1946).

Kemudian belakangan ini telah diberikan status sebagai badan utama ( pada 19 Juni 2006) (dengan nama Dewan Hak Asasi Manusia dengan perubahan mandat dan keanggotaannya).

Adanya konvensi HAM internasional itu sebenarnya bisa menjadi alasan kuat pemerintah RI dalam menekan negara lain yang kurang perduli dengan keselamatan pekerja, khususnya di negara-negara Timur Tengah dan Malaysia yang selama ini dikenal sebagai tempat kasus TKI terbanyak.Perdagangan Manusia

Direktur Migrant Care, Anis Hidayah mengakui bahwa ada beberapa negara yang masuk "zona merah" pengiriman dan penempatan TKW atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI), yakni Arab Saudi dan Malaysia.

"Negara harus menetapkan garis merah untuk Arab Saudi dan negara tetangga kita Malaysia," katanya menegaskan dalam acara diskusi Polemik di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (20/11/2010).

Data Depnakertrans pada 2009 menunjukan bahwa Arab Saudi merupakan salah satu negara tempat TKI terbesar di luar negeri setelah negara jiran Malaysia. Data Depnakertrans mencatat bahwa jumlah TKI yang bekerja di Arab Saudi 927.500 orang.

Menurut catatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada 2009, Arab Saudi merupakan negara yang paling banyak didapati TKI bermasalah (22.035 kasus). Selain kasus penyiksaan, TKI di Arab Saudi mengalami pelecehan seksual, pemerkosaan, gaji tidak dibayar, serta lari dari majikan hingga meninggal dunia akibat kekerasan dan eksploitasi.

Bukti masih maraknya praktik perbudakan era modern itu tidak terlepas dengan tingginya kasus perdagangan manusia (trafficking human).

Mirip dengan kasus Sumiati, maka hilangnya seorang pelajar putri kelas I SMK Samarinda belum lama ini menjadi puncak fenomena gunung es tentang maraknya perdagangan manusia yang akan dijadikan budak di negara lain.

Polda Kaltim yang berkoordinasi dengan Petugas Konjen RI di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia Timur berhasil menyelamatkan gadis belia itu yang semula tidak sadar bahwa dirinya akan diperdagangkan di negara jiran tersebut. Pelaku asal Pulau Sulawesi yang baru dikenal korban itu berhasil diamankan.

Tingginya minat untuk bekerja di luar negeri membuka peluang besar pada potensi perdagangan manusia serta perbudakan era modern.

Pemerintah bisa saja memberikan efek jera dengan memberikan hukuman berat dalam kasus perdagangan manusia karena sudah ada UU NO. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(PTPPO).

Perdagangan manusia ini di tanah air menunjukkan kecenderungan meningkat, misalnya data Mabes Polri dalam lima tahun terakhir (2004 hingga 2008) jumlah kasus yang ditangani aparat kepolisian kian bertambah.

Berdasarkan itu, pada 2004, kasus trafficking yang disidik kepolisian mencapai 76 kasus, kemudian pada 2005, sedikit ada penurunan kejadian, yakni hanya 71 kasus namun pada 2006, kasus perdagangan manusia kembali merangkak naik jadi 84 kasus.

Pada 2007, melonjak menjadi 177 kasus dan pada 2008 kasus trafficking berjumlah 199 kasus. Pada 2007, tercatat 88 kasus telah diproses di pengadilan. Para pelaku diganjar hukuman rata-rata hanya empat sampai lima tahun. Sedangkan pada 2008, 74 kasus telah selesai divonis hakim.

Data International Organization for Migration (IOM) menunjukkan bahwa pada 2005 dan 2007 (Data rilis April 2008), IOM telah memulangkan 3.127 orang korban trafficking di dalam maupun luar negeri, antara lain Malaysia, Singapura, Hongkong, Arab Saudi, Japan, Kuwait, Syria, Taiwan dan Jordan.

Dari 3.127 korban tersebut, lima orang adalah bayi, 801 anak, 2.321 dewasa dan sebagian besar korban (88,9 persen) adalah perempuan. Jumlah korban tersebar pada lima lokasi besar, yakni Provinsi Kalimantan Barat (707 korban), Jawa barat (650), Jawa Timur (384), Jawa Tengah (340) dan Nusa Tenggara Barat (217).

Berdasarkan pernyataan pihak Organisasi Buruh Internasional (ILO) perdagangan manusia di Indonesia sejak 2009 meningkat. Direktur ILO Indonesia, Alan Bouton menyampaikan bahwa krisis global yang kian memburuk akan mempengaruhi perekonomian Indonesia.

Pihak International Organisation for Migration (IOM) yang memperkirakan bahwa Indonesia termasuk negara tertinggi dalam perdagangan manusia.

IOM memperkirakan bahwa meskipun belum ada data valid namun kenyataannya laporan kasus trafficking dari WNI di sejumlah negara cenderung terus meningkat.

Lihat saja berdasarkan data IOM menunjukan bahwa selama Maret 2005 hingga Juli 2006 tercatat sebanyak 1.231 WNI telah menjadi korban bisnis perdagangan orang.

Ketika para elit bangsa itu serta politisi sibuk dengan berbagai aksi baik manuver, lobi maupun memperbaiki citra diri, ternyata ribuan WNI telah menjadi korban perbudakan era modern, bahkan sebagian di antaranya tewas karena disiksa majikannya, seperti beberapa kasus PRT di Malaysia, seharusnya hal ini yang harus mendapat penanganan serius.

Tampaknya, selama sistem penyiapan TKW/TKI masih "amburadul", pengelolaan perusahaan jasa TKI belum dibenahi serta kemampuan diplomasi luar negeri masih lemah maka diperkirakan kasus perbudakan modern ini akan terus marak terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT MUSRIADI (LANANG PENING)