google918a0c52108bf1a3.html Lanang Pening: NASIB PERBATASAN SEJAK ZAMAN SOEKARNO HINGGA SBY

17 Apr 2011

NASIB PERBATASAN SEJAK ZAMAN SOEKARNO HINGGA SBY

Sejak zaman Presiden Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY_, kawasan perbatasan di Kalimantan Timur (Kaltim), antara Indonesia dan Malaysia, nasibnya tetap memprihatinkan karena minimnya perhatian pemerintah.

Isu menjadikan kawasan perbatasan sebagai beranda negara telah dikumandangkan sejak negara ini merdeka, namun hingga enam kali berganti kepala negara, isu itu masih tetap isu. Mungkinkah komitmen pemerintah pusat diragukan, atau justru pejabat di Kaltim yang kurang cerdas?
Beberapa waktu lalu, pria berusia sekitar 45 tahun bernama M Hamid tampak kecapaian usai menyusun barang dagangannya yang ia datangkan dari Tawau, Malaysia. Barang dagangan itu berupa sembako dan makanan kecil.

Kala itu Hamid duduk dekat tumpukan dagangannya yang disusun seadanya sambil menunggu mobil angkutan dekat Pelabuhan Sungai Nyamuk, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur.Dari Sungai Nyamuk, Hamid harus melanjutkan perjalanan lagi ke kampung halamannya di Aji Kuning, dengan jalan darat yang berjarak sekitar 5 km. Desa Aji Kuning masih masuk Pulau Sebatik. Desa ini juga merupakan berbatasan air dan darat dengan wilayah Malaysia Timur.

Hamid mengaku lebih mudah berbelanja dagangan ke Tawau daripada di negeri sendiri, karena untuk menuju Tawau cukup mengeluarkan 7,5 ringgit (sekitar Rp25 ribu) untuk naik boat atau kapal, dan harga barang-barang di negeri seberang juga lebih murah.

Sedangkan jika harus berbelanja di Ibukota Nunukan atau ke Kota Tarakan, biaya perjalanannya jauh lebih mahal, bahkan harga barang yang dibutuhkan juga cukup mahal.

Berdasarkan hitungan ekonomis itulah, maka Hamid lebih memilih berbelanja ke negeri orang. Berdasarkan sumber dari warga setempat, sebagian besar kebutuhan warga di perbatasan didatangkan dari Tawau, jumlahnya mungkin bisa mencapai 90 persen.

Antara wilayah Indonesia yang terletak di Utara Provinsi Kaltim dan Tawau, Malaysia Timur memang jauh berbeda, bahkan bisa menimbulkan kecemburuan sosial sangat tinggi.

Betapa tidak, di Sungai Nyamuk, Aji Kuning dan sekitarnya tampak bangunan sangat sederhana atau kasarnya disebut gubuk, kondisi jalan juga memprihatinkan dan infrastruktur yang ada jelas tidak sedap dipandang mata, bahkan bisa memilukan hati.

Sebaliknya di seberang sana, tepatnya di Tawau, terdapat jalan berhotmix dua arah, banyak bangunan megah. Bahkan jika malam tiba, jutaan lampu bewarna-warni berkelap-kelip memancarkan keindahan yang bisa menarik siapa pun untuk mengunjunginya.

Namun di kawasan perbatasan Kaltim hanya ada penerangan sekedarnya dari masyarakat yang memiliki jenset. Bagi yang tidak memiliki jenset, tentu harus menggunakan penerangan dengan minyak gas, damar dan sejenisnya. Sungguh ironi memang.

Kondisi inilah yang membuat banyak warga Indonesia di Utara Kaltim memiliki identitas atau ber-KTP ganda, yakni satu identitas bewarga negara Indonesia, sedangkan identitas lainnya tercatat sebagai warga Malaysia.

Hal ini dilakukan warga agar mereka mudah keluar dan masuk Malaysia karena di negeri itu tercukupi segala kebutuhan yang diinginkan, baik untuk keperluan jual beli maupun keperluan pribadi.

Bahkan yang lebih mencengangkan dan harus menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah, banyak warga perbatasan Kaltim yang eksodus (bersama-sama orang banyak pindah warga negara) ke Malaysia. Fenomena ganjil ini sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu.

Menurut Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) asal Kaltim Luther Kombong, para pemimpin negara maupun pemimpin lokal di Kaltim akan terus menanggung dosa karena membiarkan warga di perbatasan hidup dalam kesengsaraan.

Semua komitmen pemerintah selama ini hanya janji dan manis di bibir saja. Janji manis tersebut selalu dudengungkan sejak lama, namun hingga kini hanya kepahitan yang dirasakan warga perbatasan.

Menurut dia, janji menjadikan kawasan perbatasan di Kaltim sudah ?dinyanyikan? sejak zaman Presiden Soekarno, namun hingga kini persoalan perbatasan nyaris diabaikan sehingga banyak warga yang melakukan eksodus dan memiliki KTP ganda.

Kasus eksodus dan ber-KTP ganda itu di antaranya terjadi di Kecamatan Krayan, Nunukan. Persoalan yang mendera warga di Krayan itu akibat dari keterisoliran mereka yang dibiarkan selama puluhan tahun oleh pemerintah.

"Komitmen untuk membangun perbatasan jangan hanya janji dan manis di bibir saja. Sudah ribuan WNI eksodus ke Malaysia karena keterisoliran dan kesulitan mendapatkan bahan makanan untuk kebutuhan pokok. Kondisi ini harus mendapat perhatian serius," ucapnya.

Ia juga membeberkan kondisi riil yang terjadi di perbatasan sehingga sebagian warga saat ini juga berpikir untuk mengalihkan status kewarganegaraannya karena kurangnya perhatian terhadap perbatasan, apalagi menurut warga, Malaysia menyatakan siap membangun akses jalan yang selama ini sangat diharapkan warga perbatasan.

Luther juga mengakui bahwa batas kepulauan yang ada di Indonesia selama ini tidak dilengkapi dengan pagar atau pembatas yang menjadi rambu-rambu bagi negara lain jika memasuki wilayah NKRI. Akibatnya, sering terjadi insiden warga Malaysia memasuki wilayah teritorial Indonesia baik di kawasan darat maupun laut.

Dalam penanganan perbatasan, katanya, terlalu banyak instansi yang ikut membidani sehingga tidak fokus. Untuk itu diusulkan tidak terlalu banyak instansi yang menangani, cukup BNPP saja agar semakin fokus menangani perbatasan yang selama ini dikeluhkan banyak orang.

Berdasarkan data, terdapat 255 desa yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Ke-255 desa tersebut tersebar di 15 kecamatan di tiga kabupaten yang ada di Kaltim, yakni Kabupaten Kutai Barat, Malinau dan Kabupaten Nunukan.

Desa-desa yang berhadapan langsung dengan Sabah dan Serawak, Malaysia Timur itu antara lain, Desa Long Apari dan Naha Tifab di Kecamatan Long Apari, Kabupaten Kutai Barat.

Kemudian Desa Long Nawang, Long Ampung, Long Payau, dan Long Betayati di Kecamatan Kayan Hulu, serta sejumlah desa di Kecamatan Kayan Hilir dan Pujungan di Kabupaten Malinau.

Selanjutnya sejumlah desa di Kabupaten Nunukan antara lain Desa Long Layu, Lembudud, Tanjung Karya, Tong Raya, Long Bawang, dan Desa Long Midang. Kemudian Desa Samalat, Sibalu, dan Desa Tatalunjuk di Kecamatan Lumbis.

Panjang garis perbatasan darat mulai Kutai Barat hingga Nunukan itu sepanjang 1.038 kilometer, sementara penduduk yang menghuni di 255 desa dalam 15 kecamatan itu berjumlah 135.778 jiwa dengan luas wilayah 49.841 kilometer persegi.

Desa-desa tersebut pada umumnya masih sangat terisolir, tertinggal dan terbelakang dengan tingkat kesejahteraan penduduk rendah yang disebabkan terbatasnya ketersediaan sarana transportasi, informasi, dan komunikasi.

Kondisi ini berakibat pada ketergantungan hidup penduduk perbatasan dengan Malaysia masih sangat tinggi, khususnya penduduk yang tinggal di Kecamatan yang berbatasan dengan Serawak. Sedangkan sejumlah kecamatan lain di perbatasan tidak memiliki akses jalan darat dan sungai, sehingga harus bertumpu pada transportasi udara untuk menjangkau ibukota kabupaten dengan kapasitas pesawat sangat terbatas.

Di sisi lain, sejumlah kecamatan yang bisa dijangkau dengan transportasi sungai, juga memerlukan biaya tinggi karena jarak tempuh yang jauh dan harga bahan bakar minyak sangat mahal, sehingga berakibat pada harga kebutuhan pokok di kawasan itu semakin melambung.

Untuk mengatasi ini, daerah tidak bisa bekerja sendiri, namun perlu campur tangan pusat terutama terkait pendanaan, sehingga perbatasan bukan menjadi pintu belakang seperti yang terjadi selama ini, namun perbatasan harus menjadi beranda depan negara.

Penanganan perbatasan bukan hanya menjadi isu kabupaten dan provinsi, namun juga menjadi permasalahan nasional, bahkan telah menjadi isu internasional karena pembahasan tentang perbatasan harus melibatkan antarnegara.

Sementara itu, Kepala Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Terpencil (BPKP2DT) Provinsi Kaltim Adri Patton menuturkan, terkait banyaknya warga perbatasan melakukan eksodus seperti yang diungkapkan Luther Kombong, hal itu benar adanya.

"Saya juga berasal dari warga perbatasan, jadi saya juga mengetahui, apalagi informasi yang didapat dari Luther Kombong itu bersumber dari Kepala Adat setempat sehingga kebenarannya tidak diragukan," ucapnya.

Adri melanjutkan bahwa nasib warga di perbatasan sangat memprihatinkan, selain fasilitas pendidikan, kesehatan dan lainnya yang minim, masih banyak desa yang terisolir karena tidak memiliki akses jalan darat.

Bahkan ada beberapa desa yang tidak bisa ditempuh melalui jalan air maupun jalan darat, sehingga untuk mencapai daerah itu harus menggunakan pesawat terbang. Kondisi itulah yang membuat harga barang di kawasan itu menjadi tinggi.

Menurut dia, selama ini pemerintah pusat beralasan, jumlah penduduk yang sedikit di perbatasan menjadi pertimbangan tidak membangun infrastruktur. "Kalau pertimbangannya begitu, sampai kiamat pun perbatasan tidak akan dibangun. Ingat, membangun perbatasan adalah tanggung jawab pusat," ujarnya lagi.

Selama ini katanya, hampir seluruh elemen pemerintahan sudah berusaha untuk memajukan perbatasan, mulai dari bupati bersama DPRD di kabupaten yang berbatasan dengan Malaysia, Gubernur dan DPRD Kaltim, bahkan hingga DPD dan DPR RI.

Ketika pemerintah daerah meminta dana bagi hasil yang lebih demi pembangunan di Kaltim, alasannya harus dibagi demi NKRI. Tetapi begitu diminta membangun perbatasan yang notabenenya beranda negara, seperti diacuhkan.

"Apakah kita harus berjuang dengan jalan pintas seperti yang dilakukan oleh Papua dan Aceh? Harus demo dulu? Tidak harus begitu kan, karena masyarakat Kaltim ini cinta damai dan lebih memilih cara yang elegan," katanya.

Meski dia sebagai kepala badan yang menangani perbatasan, namun tidak memiliki kekuatan penuh karena badan yang menangani perbatasan ini bernama Badan Koordinasi sehingga tidak bisa bergerak dan menganggarkan biaya sendiri, namun harus dilakukan koordinasi dengan SKPD lain.

Anggota Komisi I DPRD Kaltim Yefta Berto menyatakan, bahwa saat ini banyak pejabat yang berbicara mengenai masalah perbatasan, namun sesungguhnya itu hanya sebatas ?lip service?, sedangkan hatinya sama sekali tidak peduli dengan kenyataan yang dihadapi masyarakat perbatasan.

"Dari ucapannya, seakan-akan para pejabat itu peduli dengan pembangunan perbatasan, tapi hatinya berkata lain dan bertolak belakang, makanya pembangunan perbatasan tidak akan pernah tuntas, lihat saja buktinya dari puluhan tahun lalu hingga kini," tuturnya.

Menurut Yefta, pembangunan perbatasan memerlukan tindakan nyata, bukan hanya janji-janji seperti seringkali diucapkan banyak pejabat selama ini. Dia juga meminta BPKP2DT Kaltim segera mengajukan proposal khusus ke BNPP dan bukan ke kementerian lain, seperti Kementerian PU atau Kementerian Keuangan.

"Fokuskan saja usulan ke BNPP karena kami melihat badan ini memiliki komitmen untuk membangun kawasan perbatasan, jika ada proposal khusus dari Kaltim ke BNPP tentu lembaga ini memiliki dasar kuat untuk menganggarkan biaya pembangunan perbatasan," kata Yefta yang berasal dari kabupaten di perbatasan ini.

Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim Syaparudin menuturkan, selama ini Kepala BPKP2DT Kaltim Adri Patton terkesan hanya memojokkan pemerintah pusat, menyangkut masih rendahnya alokasi dana pembangunan di perbatasan
Seharusnya, Adri Patton lebih bijak, yakni dengan proaktif mengajukan proposal khusus kepada BNPP sehingga lembaga nasional itu mempunyai dasar untuk memberikan alokasi anggaran yang cukup bagi pembangunan kawasan perbatasan di Kaltim.

Beberapa waktu lalu ucap Syaparuddin, Komisi I DPRD Kaltim mengadakan pertemuan dengan para pejabat BNPP, di antaranya dengan Deputi Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan BNPP Agung Mulyana.

"Menurut Pak Agung, belum pernah ada proposal khusus dari Kaltim menyangkut pembangunan kawasan perbatasan. Kepala BPKP2DT Kaltim hanya memberikan rekaman video, tapi bukan proposal khusus yang bisa dijadikan dasar untuk memberikan alokasi anggaran bagi pembangunan perbatasan Kaltim," ucapnya.

Pernyataan Syaparuddin ini diutarakan terkait kekesalan Adri Patton yang menganggap pusat tidak memperhatikan kawasan perbatasan Kaltim dengan Malaysia, sehingga masyarakat perbatasan dan kondisi wilayahnya jauh tertinggal dengan daerah lain.

Menurut Syaparudin, tak ada gunanya Kepala BPKP2DT Kaltim mengungkapkan kekesalannya di media massa terhadap pemerintah pusat soal pembangunan kawasan perbatasan, karena yang dibutuhkan adalah kesigapan dan kepiawaian BPKP2DT dalam membuat perencanaan yang realistis.

Hal lain yang juga sangat dibutuhkan adalah, kemampuan dan kepiawaian BPKP2DT Kaltim dalam meyakinkan dan melobi BNPP, agar memberikan alokasi anggaran memadai untuk pembangunan perbatasan.

Dia melanjutkan, Komisi I DPRD Kaltim mendapat gambaran dari pejabat BNPP, bahwa badan yang menangani perbatasan dan daerah terpencil di Kaltim itu harus serius menangani masalah kawasan perbatasan.

"Pak Agung juga menyarankan agar BPKP2DT Kaltim mengumpulkan bupati, ketua DPRD, camat dan tokoh masyarakat perbatasan, bahkan BNPP siap membiayai pertemuan untuk membahas permasalahan sekaligus pembiayaan di perbatasan tersebut," tutur Syapar. (ANT)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT MUSRIADI (LANANG PENING)