google918a0c52108bf1a3.html Lanang Pening: PENGHUNI LAPAS PUN INGIN LANJUTKAN SEKOLAH Oleh Asmaul Chusna dan Chandra HN

17 Apr 2011

PENGHUNI LAPAS PUN INGIN LANJUTKAN SEKOLAH Oleh Asmaul Chusna dan Chandra HN

Menempuh pendidikan di balik jeruji, bukanlah perkara mudah bagi anak-anak yang tinggal di Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA) Kelas II A Blitar, Jawa Timur.

Terbatasnya fasilitas, membuat mereka kesulitan untuk belajar. Terlebih lagi, bagi mereka yang hendak menempuh ujian nasional, yang notabene memerlukan intensitas belajar yang lebih baik dan pelajaran yang lebih mendalam.

Keinginan demi lulus sekolah, melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, berbenturan dengan terbatasnya sarana dan prasarana.

Hal itu dialami sendiri oleh Ham (15), salah seorang penghuni Lapas yang hendak mengikuti Ujian Nasional (UN) tingkat sekolah menengah pertama (SMP) pada 25-28 April 2011.

Tidak banyak yang diinginkan remaja yang sudah menghuni lapas ini sejak 2007 akibat kasus pencurian. Tekadnya menempuh pendidikan, melanjutkan ke tingkat sekolah menengah atas (SMA) merupakan bekal dirinya demi melanjutkan hidupnya menjadi lebih baik lagi.Tanggal 25-28 April 2011 nanti, merupakan babak penentuan, ia mampu mengerjakan soal-soal ujian tingkat sekolah menengah pertama (SMP) ataukah sama sekali tidak mengerti.

"Saya ingin melanjutkan sekolah ke SMA. Saya ingin jadi orang sukses," kata Ham (15), lirih.

Ham mengaku sudah belajar maksimal, walaupun dengan kondisi terbatas. Ia juga belajar membaca buku di perpustakaan yang disediakan oleh Lapas, agar bisa mengerjakan soal-soal ujian nasional.

Menghadapi UN lebih mengerikan bagi remaja yang berasal dari Kabupaten Probolinggo ini, karena fasilitas yang terbatas. Ia tidak peduli, stigma yang menimpa dirinya, karena menjadi Anak Negara, ketika harus mengerjakan soal di SMP Islam plus agrobisnis Imam Syafi'i, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, sekitar 15 kilometer dari lokasi Lapas.

Waktu yang dipergunakan untuk belajar di ruang sekolah juga sangat terbatas. Pelajaran mulai aktif pukul 07.30 WIB, dan pulang pukul 10.30 WIB. Itu pun, terkadang guru terlambat datang, bahkan tidak datang sama sekali.

"Inginnya jam pelajaran ditambah," ucap Ham.

Sebenarnya, kata dia, guru pengajar pun juga berupaya memberikan soal-soal ujian untuk "try out" menjelang UN nanti. Sayangnya, soal-soal itu harus dikembalikan lagi, ketika pelajaran usai.

"Materi yang sulit Matematika dan Bahasa Inggris. Kalau saya sukanya IPA dan Bahasa Indonesia, kemarin dapat bagus. Kalau IPA dapat 8,6, Bahasa Indonesia dapat 7,5 saat ujian," katanya bangga.

Ia juga tidak berniat melarikan diri saat ujian nanti, mengingat ia dengan tujuh rekan lainnya akan menempuh ujian di luar Lapas. Waktu bebas, 2 Juli 2011 sudah menjadi penantian yang panjang baginya, hingga ia nekat akan tetap berkelakuan baik.

"Saya tidak ingin lari. Tanggal 2 Juli nanti saya sudah bebas," tuturnya dengan wajah sumringah.

Kepala Seksi Pembinaan LPA Kelas II A Blitar, Muchtaroni mengatakan, pihak Lapas selalu berupaya untuk memberikan pendidikan sesuai dengan jenjang pendidikan mereka, termasuk mempersiapkan pembelajaran khusus bagi mereka yang hendak mengikuti UN.

"Kalau yang nanti ikut UN hanya dari SMP dan SD saja, untuk SMA tidak ada. Kami sudah kerja sama dengan guru yang mengajar di sekolah untuk memberikan pelajaran tambahan," paparnya.

Biasanya, kata dia, jam sekolah di Lapas berakhir pukul 10.30-11.00 WIB lalu dilanjutkan dengan istirahat. Tambahan jam pelajaran akan berlangsung usai makan siang dan shalat dhuhur pukul 13.00 WIB, sekitar satu jam.


Minim Fasilitas
Fasilitas yang disediakan untuk tempat anak-anak belajar di Lapas memang terbatas. Selain ruangan yang juga terbatas, buku penunjang untuk belajar sesuai dengan mata pelajaran pun terbatas.

Guru Pengajar SMP Islam plus agrobisnis Imam Syafi'i, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, yang juga bertugas mengajar di Lapas, Didi Herwianto, merasakan terbatasnya fasilitas belajar anak-anak.

"Ruangan untuk belajar harus bergantian, buku pelajaran harus dibawa dari sekolah ke Lapas," katanya, mengungkapkan.

Bukan hanya ruangan yang terbatas, untuk buku tulis maupun bolpoin pun harus dikumpulkan kembali usai jam pelajaran berakhir. Kondisi ini, tentunya sangat berbeda dengan para peserta didik di sekolah "umum" yang lebih mudah untuk belajar dan sarana pendidikan lebih lengkap.

Ia mengaku, terpaksa melakukan hal itu. Selain anggaran yang memang hanya mengandalkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah, pihak Lapas tidak menyediakan fasilitas untuk belajar, seperti buku tulis dan bolpoin.

Didi juga terpaksa mengambil kembali fasilitas untuk belajar. Ia tidak bermaksud pelit, hingga mengabaikan hak anak-anak itu untuk belajar di kamar. Ia beralasan, barang yang ketahuan tidak diamankan, akan langsung dibawa anak-anak, dan mereka pasti merusaknya.

"Lima menit saja tidak diamankan, barang langsung hilang. Kalau buku, pasti akan dirobek di dalam kamar," tuturnya, mengungkapkan.

Untuk itu, demi pendidikan dan keberlangsungan fasilitas, ia terpaksa menarik kembali. Jumlah antara yang dibagikan dengan yang ditarik juga harus sama.

Selain masalah fasilitas, kata guru yang juga kepala sekolah ini jumlah guru yang mengajar di Lapas juga terbatas. Tidak jarang, ia terpaksa merangkap maupun menjadi guru pengganti, ketika guru yang bertugas tidak dapat hadir.

Jumlah guru di SMP Islam plus agrobisnis Imam Syafi'i hanya 16 guru. Sayangnya, tidak semua bisa aktif mengajar di Lapas, karena mereka harus membagi waktu untuk mengajar di sekolah mereka sendiri.

Di SMP yang berubah nama menjadi agrobisnis sejak 2009 ini, ada 70 anak yang terdaftar. Jumlah itu memang cukup kecil, tetapi mereka masih bisa menyelenggarakan UN di sekolah sendiri, tidak gabung dengan sekolah lain.

Mengajar di Lapas, disadari Didi merupakan tantangan yang cukup berat. Tingkat psikologis dan teknik mengajar tidak sama dengan di sekolah umum, yang mungkin lebih disiplin.

Di Lapas, kata pria lulusan Universitas Padjadjaran, Bandung tahun 2009 ini, guru harus menerapkan cara khusus, agar anak didiknya bisa memahami pelajaran.

"Terkadang, ketika pelajaran berlangsung, sudah ada yang protes minta pelajaran berakhir, padahal belum jam usai. Jadinya, harus gunakan cara khusus, agar mereka juga bisa memahami pelajaran," ucapnya.

Walaupun dengan segala keterbatasan, pribadi yang tidak sama, antara satu anak dengan lainnya, ia menilai masih ada anak-anak yang sebenarnya mempunyai potensi dan cerdas. Mereka juga pandai berhitung, dan selalu rajin daripada beberapa teman lainnya.

Pihaknya berharap, semangat yang ditunjukkan anak-anak "spesial" ini tidak akan redup, bahkan hingga mereka kembali ke rumah masing-masing. Hal itu selalu ditekankannya, agar mereka belajar tanpa putus asa, demi meraih cita-cita.

Kepala Seksi Pembinaan LPA Kelas II A Blitar Muchtaroni menampik, jika pihak Lapas tidak memerhatikan pendidikan mereka. Demi menunjang kebutuhan pendidikan anak, pihaknya sudah menyediakan perpustakaan dengan koleksi buku lebih dari 300 judul.

Namun, ia mengakui jika jam buka perpustakaan terbatas, sesuai dengan jam kantor. Usai itu, mereka tidak dapat membaca ataupun belajar, termasuk meminjam buku.

"Mereka bisa baca sepuasnya di kantor perpustakaan, tetapi tidak pinjam. Di kamar pun, tidak boleh ada buku, jika ketahuan kami bawa, karena pasti rusak," kata Muchtaroni.

Mengantisipasi terjadi kerusakan, maupun membawa barang yang dilarang masuk kamar Lapas, Muchtaroni mengaku intensif mengadakan pemeriksaan. Jika ditemukan barang berbahaya, seperti pisau, maupun benda tajam lainnya yang dilarang, akan langsung ditarik.

Jumlah anak tahanan, anak negara, maupun anak pidana di Lapas Kelas II A Blitar cukup banyak, hingga 234 anak dari seluruh daerah di Jawa Timur yang terbagi di empat blok. Dari jumlah itu, enam di antaranya adalah perempuan. Kasus yang menimpa mereka juga beragam, seperti pencurian, asusila, terlibat penjualan narkotika, dan beberapa kasus lainnya. Usia mereka maksimal 17 tahun, dengan masa hukuman bervariatif.

Dari total penghuni Lapas anak, yang masih menempuh pendidikan cukup banyak. Tingkat sekolah dasar (SD) ada 21 anak, sementara tingkat SMP hingga 23 anak, termasuk delapan anak tingkat SMP yang akan menempuh ujian nasional.

Secara total, jumlah peserta UN tahun pelajaran 2010-2011 tingkat SMP/Mts negeri dan swasta yang terdata di Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar mencapai 15.036 peserta yang berlangsung tanggal 25-28 April 2011. Mereka akan menempati 819 ruang kelas di 122 sekolah dalam ujian nantinya. (ANTARA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT MUSRIADI (LANANG PENING)